Minggu, 17 Januari 2016




BAB I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pada hakekatnya pengembangan merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup dan  meningkatakan kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; yaini belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki dan bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar. Hasil yang dapat di peroleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang digunakan. Mengacu pada dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut. Salah satu alternatif pengembangan wilayah yang diharapkan dapat mengatasi dampak negatif dari suatu pembangunan adalah dengan pengembangan kawasan agropolitan. Dalam pengembangan, wilayah harus di dasarkan atas keunggulan komparatif lokasi, dengan demikian produk-produk pertanian yang mempunyai karakteristik khusus  serta harus mempunyai orientasi pengembangan yang lebih baik.
Istilah agropolitan telah mengemuka dalam tataran konsep atau teori serta implementasi kebijakan. Perjalanan pembangunan agropolitan di stimulasi oleh otonomi daerah maupun program-program pembangunan wilayah antara lain Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus, kawasan perbatasan/tertinggal, Minapolitan, atau ekowisata. Keberhasilan pelaksanaan program pengembangan agropolitan akan memberikan dampak teknis dan ekonomis secara nyata terhadap pembangunan wilayah, dalam bentuk: (a) Harmonisasi dan keterkaitan hubungan yang saling menguntungkan antara daerah pedesaan dan perkotaan; (b) Peningkatan produksi, diversifikasi, dan nilai tambah pengembangan agribisnis yang dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat dalam kawasan pengembangan agropolitan; (c) Peningkatan pendapatan, pemerataan kesejahteraan, perbaikan penanganan lingkungan, dan keberlanjutan pembangunan pertanian dan pedesaan; dan (d) Dalam konteks regional dan nasional akan terjadi efisiensi pemanfaatan sumberdaya, peningkatan keunggulan komparatif wilayah, perdagangan antar daerah, dan pemantapan pelaksanaan desentralisasi pembangunan. (Nasution, 1998 dan Rusastra et al., 2002)
1.2 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang pengembangan wilayah dengan melakukan pendekatan agropolitan.
1.2  Manfaat
Manfaat penulisan ini di harapkan memberikan informasi tentang bagaimana pengembangan wilyah dapat dilakukan dengan pendekatan agropolitan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Wilayah dan Pusat Pertumbuhan
2.1.1 Konsep Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentukbentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan, 2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah menjadi : 1). fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development.Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan.
2.1.2 Wilayah Perencanaan
Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan.
2.2 Agropolitan

Pengembangan agropolitan, seperti redistribusi tanah, prasarana dan sarana pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan sehingga masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001). Dalam pembangunan perdesaan yang berimbang tidak hanya membentuk suatu permukiman secara individu tapi juga sangat penting untuk membangun sibiotik generator keterkaitan desa-kota yaitu melalui pengembangan agropolitan (Prayitno, 2004).
2.2.1 Pengertian Agropolitan
            Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungannya dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Dari berbagai alternatif model pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaanperkotaan selama ini. Agropolitan terdiri dari kata “agro” = pertanian dan “politan” = kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota didaerah lahan pertanian (departemen pertanian, 2002 dalam Pranoto , 2005). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan kota tani berbasis budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk menghindari kesalahan pembangunan masa lalu.
            Menurut (Saefulhakim, 2004) “Agro” bermakna: “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman”, yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian. Sedang “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis bermakna : lokasi pusat pelayanan sistim kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, 2003).
2.2.2 Batas Kawasan Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan dikembangkan oleh Friedman dan Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan pentingnya pendekatan agropolitan dalam pengembangkan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Dalam konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issu utama yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan, (2). desentralisasi politik dan wewenang administrasi dari tingkat pusat dan tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian. Melihat kota-kota sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pendekatan pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (Douglass, 1998). Menurut Friedman dan douglass (1975), tujuan pembangunan agropolitan adalah menciptakan “cities in the field”dengan memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk dengan kepadatan tertentu. Agropolitan distric merupakan satuan yang tepat untuk membuat suatu kebijaksanaan pembangunan ruang, melalui desentralisasi perencanaan dan pengambilan keputusan (decentralized). Agropolitandistricts dapat dikembangkan didaerah perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk meningkatkan standart hidup , meningkatkan kesempatan bekerja dan mengurangi tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996). Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa gambaran agropolitan adalah sebagai berikut: (1) skala geografinya relatif kecil; (2) proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi dan aksi koperatif pada tingkat lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal termasuk pertanian dan kegiatan non pertanian; (4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya lokal; (5) berfungsi sebagai urban-rural industrial.
Dengan skala luasan kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut
(1) akses lebih mudah bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk meningkatkan dan mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan cukup luas dalam upaya mengembangkan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal akan mudah dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika
proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Pendekatan pembangunan perdesaan tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Pendekatan pembangunan harus dilakukan secara komprehensip dan terpadu untuk meningkatkan produktifitas, meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar dilaksanakan melalui enam elemen dasar, yaitu: (1) pembangunan pertanian dengan padat karya (labour intensif), (2) menciptakan lapangan kerja, (3) membangun industri kecil / industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4) gotong royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan, (5) mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan, dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.

BAB III. PEMBAHASAN
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN AGROPOLITAN
3.1 Pengembangan Wilayah
Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah “seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”. Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan dan  dapat pula tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus” dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang lain. Produk politik seperti itu biasa disebut Undang Undang atau berbagai peraturan lainnya. Tulisan ini mencoba melakukan elaborasi sistim pembangunan yang berlaku saat ini dengan menggunakan pendekatan geografi. Berbeda dengan sistim pembangunan pada era orde baru yang bertitik tolak dari GBHN yang berisi garis besar rencana pembangunan yang ditetapkan  oleh MPR, sistim pembangunan pada era reformasi saat ini bertolak dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang berisi rencana pembangunan (lima tahun) yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Saat ini, pemerintah (pemerintah pusat) dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan pembangunan mengacu pada UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah sebagai amandemen dari UU nomor 22 dan 25 tahun 1999. Di samping itu berbagai UU lainnya seperti UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU nomor 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU nomor 2 tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan pembangunan. Namun demikian pada prakteknya sistim pembangunan saat ini tidak berbeda dengan masa yang lalu karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Bidang pembangunan dijabarkan dalam sector, program dan proyek pembangunan. Proyek merupakan jenjang terrendah dari hirarki istilah dalam pembangunan dan pada tahap ini pelaksanaannya membutuhkan “dana” dan “tanah”. Dan dapat dimengerti, hasil pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan merubah kualitas lingkungan hidup, apakah semakin baik atau sebaliknya malah banyak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy dalam Kartono, 1989). Karena yang disajikan adalah fakta spasial maka ketersediaan peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah antara lain dituntut peran aktif para ahli geografi. Pengwilayahan data spasial untuk menetapkan proyek pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan (penetapan wilayah pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah pembangunan pada umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Produk akhir dari analisis data spasial disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang dianalisis disebut “area/geomer/daerah”. Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas. Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga  perlu memperhatikan paling tidak bagaimana perkembangan daerah sekitarnya (interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya. Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek. Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu.
Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang

 

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang diarahkan menjadi kawasan agropolitan karena wilayah tersebut dinilai sangat potensial di bidang pertanian, khususnya produk tanaman pangan, hortikultura, buah,  dan sayur. Konsep agropolitan mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Agropolitan merupakan konsep berpikir, cara pandang, atau strategi untuk melakukan pembangunan di daerah, baik di perkotaan maupun sub perkotaan dengan pertanian berkelanjutan. Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dan mengetahui  prospek pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan penulis menggunakan pendekatan kualitatif adalah berusaha memberikan gambaran yang sistematis, faktual dan akurat mengenai pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data dokumen yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Malang dan Kecamatan Poncokusumo, data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian ini menerangkan bahwa pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan poncokusumo saat ini dalam tahap perbaikan infrastruktur dan peningkatan produksi pertanian dan peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian. Pada masa yang akan datang diharapkan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan poncokusumo bisa menjadi daerah agrowisata.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang belum sepenuhnya menjadi kawasan Agropolitan dikarenakan pengembangannya yang belum maksimal. Pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan pada tahun 2008-2010 masih difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana guna menunjang produksi pertanian, sedangkan untuk tahun 2011 sudah mulai dilakukan program peningkatan produksi pertanian dan program peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian. Pemerintah setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan menjadi daerah agrowisata dan akan menjadi daerah hinterland untuk kawasan di sekitarnya.
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta

 

pembangunan kawasan agropolitan ini belum memberikan
dampak yang signifikan terhadap pembangunan perdesaan di Kabupaten Kulonprogo. Hal ini
terlihat bahwa tingkat kesejahteraan petani padi, melon dan ketela pohon di kawasan ini masih
dibawah rata-rata Kabupaten Kulonprogo. Faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya
ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis hulu-hilir seperti bahan baku, alat mesin
pertanian, irigasi, pemasaran dan kondisi jalan, sehingga menjadi hambatan utama bagi petani
dalam peningkatan produktivitas serta daya beli petani.


BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di  perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.
Karena pada dasarnya kegiatan pengembangan wilayah diarahkan untuk sebesar besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, lahir dan batin, argument dari sudut pandang ekonomi, social budaya dan keamanan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan wilayah.

Sabtu, 16 Januari 2016

TEORI WILAYAH INTI





     TEORI WILAYAH INTI 

 


Friedman (1964) mengamati bahwa dalam suatu wilayah terdapat perbedaan prinsip antara daerah inti (center) dengan daerah pinggiran (periphery) disekitarnya, yang sering pula disebut daerah belakang, hinterland atau pedalaman. Pembangunan dilihat sebagai suatu proses inovasi yang diskontinyu tetapi komulatif. Proses ini berasal dari sejumlah kecil dan sejumlah pusat-pusat perubahan dalam suatu wilayah yaitu pada titik-titik interaksi yang mempunyai potensi tertinggi. Proses inovatif cenderung menyebar kebawah dan keluar dari pusat-pusat tersebut ke daerah-daerah yang mempunyai potensi interaksi yang lebih rendah. Pusat-pusat besar, metropolis atau megapolis dan daerah-daerah lainnya yang relatif statis disebut daerah-daerah pinggiran. Wilayah-wilayah pusat merupakan subsistem-subsistem dari sistem yang lebih besar (propinsi, nasional, dan internasional) yang kemajuan pembangunannya ditentukan oleh lembaga-lembaga di daerah inti tersebut. Sedangkan daerah-daerah pinggiran berada dalam suatu hubungan ketergantungan yang substansial. Daerah inti dan wilayah pinggiran bersama-sama membentuk sistem spatial yang lengkap.
Hubungan daerah inti dan daerah pinggiran mempunyai karakter yang spesifik karena adanya pengaruh-pengaruh kuat dari daerah pusat terhadap daerah pinggirannya, antara lain : pengaruh dominasi, pengaruh informasi, pengaruh psikologi, pengaruh mata rantai, dan Pengaruh dominasi : muncul karena melemahnya perekonomian daerah-daerah pinggir sebagai akibat mengalirnya potensi sumber (daya alam, SDM, modal) ke daerah inti. Bagaimanapun hal ini memperkuat dominasi daerah pusat terhadap faedah daerah pinggirannya.


- Pengaruh informasi : terjadi akibat semakin meningkatnya interaksi di derah inti (yang menunjang peningkatan inovatif) sehingga daerah inti menjadi pusat informasi bagi daerah pinggirannya.


- Pengaruh psikologis : terjadi akibat terciptanya kondisi-kondisi yang semakin menggairahkan di daerah inti yang dilanjutkan secara lebih nyata di pusat maupun di daerah pinggiran.


- Pengaruh mata rantai : ditandai dengan adanya kecenderungan melakukan inovasi-inovasi selanjutnya, dari hasil-hasil inovasi yang sudah ada/terdahulu.


- Pengaruh produksi : yaitu peningkatan yang sudah diakibatkan oleh penciptaan struktur balas jasa (imbalan) yang menarik untuk keberhasilan suatu inovasi atau terciptanya suatu prestasi.




Pada umumnya daerah ini melaksanakan fungsi pelayanan terhadap daerah-daerah sekitarnya. Beberapa daerah inti memperlihatkan fungsinya yang bersifat khusus, misalnya sebagai pusat perdagangan, pusat industri, ibukota pemerintahan, dan sebagainya.

Berkenaan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spatial, Friedman mengemukakan lima hal utama, sebagai berikut :


- Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah sekitarnya melalui sistem suplai, sistem pasar, dan sistem administrasi pemerintahan.


-  Daerah inti secara sistimatis meneruskan dorongan-dorongan inovasi ke daerah-daerah sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya.


- Sampai pada suatu keadaan tertentu pertumbuhan didaerah inti cenderung membawa pengaruh positif dalam pembangunan spatial. Tetapi mungkin pula membawa pengaruh negatif, jika tidak terjadi peningkatan penyebaran pembangunan di daerah pinggiran ke daerah-daerah pinggirannya sehingga keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah pinggiran terhadap daerah inti berkurang.


- Dalam suatu sistem spatial hirarki daerah-daerah inti ditetapkan berdasarkan kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristiknya secara terinci dan prestasinya.


- Inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah sistim spatial antara lain dengan cara mengembangkan sistim informasi.


Teori inti berganda (bahasa Inggris: multiple nuclei model) adalah model ekologi kota yang dibuat oleh Chauncy Harris dan Edward Ullman pada tahun 1945 dalam artikel "The Nature of Cities." Teori ini dibuat berdasarkan fakta bahwa ada kota-kota modern yang memiliki pusat bisnis, daerah industri dan pemukiman sendiri.


Teori ini dibuat berdasarkan gagasan bahwa orang memiliki pergerakan yang lebih besar karena meningkatnya kepemilikan mobil. Peningkatan ini membuat terjadinya spesialisasi pusat-pusat regional (seperti pusat bisnis, daerah industri).







Gambar teori inti berganda

 




Kota inti di Jepang







― Kota terpilih 

― Kota inti

― Kota khusus



Kota inti (中核市 Chūkakushi?) adalah kelas atau kategori kota di Jepang. Kota inti di Jepang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Otonomi Lokal Bab 252 Pasal 22 Butir 1.  Kedudukan kota inti berada di bawah kota terpilih. Syarat mendapatkan status kota inti adalah populasi penduduk lebih dari 300.000 orang


Wilayah metropolitan 
adalah sebuah pusat populasi besar yang terdiri atas satu metropolis besar dan daerah sekitarnya, atau beberapa kota sentral yang saling bertetangga dan daerah sekitarnya. Satu kota besar atau lebih dapat berperan sebagai hub-nya, dan wilayah metropolitan biasanya diberi nama sesuai dengan kota sentral terbesar atau terpenting di dalamnya.



Arti umum


Sebuah wilayah metropolitan biasanya menggabungkan sebuah aglomerasi (daerah pemukiman lanjutan) dengan zona lingkaran urban, tapi dekat dengan pusat perkantoran atau perdagangan. Zona-zona ini juga dikenal sebagai lingkaran komuter, dan dapat meluas melewati lingkaran urban tergantung definisi yang digunakan. Biasanya berupa daerah yang bukan bagian dari kota tapi terhubung dengan kota. Contohnya, Pasadena, California dimasukkan dalam wilayah metro Los Angeles, California. Bukan kota yang sama, tapi tetap terhubung.


Kota inti dalam wilayah metropolitan polisentris tidak terhubung dengan pembangunan pemukiman lanjutan, membedakan konsepnya dari konurbasi, yang memiliki lanjutan urban. Di wilayah metropolitan, sudah pasti kota sentral bersama-sama membuat nukleus populasi besar dengan bagian konstituen lain yang mempunyai integrasi tingkat tinggi.

Kenyataannya perbatasan wilayah metropolitan, dalam arti resmi dan tidak resmi, tidak menentu. Terkadang mereka sedikit berbeda dari wilayah urban, dan dalam beberapa hal mereka mencakup daerah luas yang mempunyai sedikit hubungan dengan konsep tradisional kota sebagai satu pemukiman urban tunggal. Sehingga semua jumlah wilayah metropolitan harus dianggap sebagai interpretasi daripada fakta kuat. Jumlah populasi wilayah metro diberikan oleh berbagai sumber untuk tempat yang sama dapat berbeda-beda hingga beberapa juta, dan terdapat keinginan bagi orang-orang untuk memasukkan angka tertinggi yang mungkin untuk "kota" mereka. Tetapi jumlah populasi wilayah metropolitan paling tinggi biasanya lebih baik dipandang sebagai populasi "daerah metropolitan" daripada populasi "kota".


Perbedaan arti menurut negara

Sebutan wilayah metropolitan kadang-kadang disebut sebagai 'metro', contohnya di Metro Manila dan Wilayah Metro Washington, DC, yang tidak boleh salah diartikan untuk merujuk sistem kereta bawah tanah di kota itu. Meski dapat dibandingkan secara komposisi dengan wilayah metro lain di dunia, di Perancis sebutan untuk daerah di sekitar inti urban yang terhubung denagn sekitarnya disebut aire urbaine ("wilayah urban"). Di Jepang disebut toshiken, blok kota).

Arti resmi unik di beberapa negara

Australia


Perth dianggap sebagai wilayah metropolitan paling terpencil di dunia.
Di Australia, Statistical Division (SD) ditetapkan oleh Biro Statistik Australia sebagai daerah di bawah pengaruh bersatu satu kota atau lebih. Setiap ibukota membentuk Statistical Division-nya sendiri, dan populasi SD adalah jumlah yang paling sering digunakan untuk populasi kota. Statistical District diartikan sebagai non-ibukota tapi wilayah urban. Statistical Division yang yang mencakup ibukota secara umum meski tak resmi disebut sebagai 'wilayah metropolitan'.

Republik India

 

Di India, Census Commission mengartikan kota metropolitan sebagai kota yang memiliki jumlah penduduk di atas 40 lakh (4 juta). Mumbai, Delhi, Chennai, Kolkata, Bengaluru, Hyderabad adalah enam kota yang memenuhi syarat. Penduduk kota-kota tersebut juga diperbolehkan menyewa rumah besar. Jumlah ini hanya diberlakukan pada daerah kota dan bukan konurbasinya.

Amerika Serikat


  Office of Management and Budget menetapkan "Core Based Statistical Areas" digunakan untuk keperluan statistik pada badan federal. Setiap CBSA didasrkan pada sebuah wilayah urban inti dan terdiri dari county yang telah termasuk inti tersebut juga county sekitarnya yang secara sosial atau ekonomi bergantung padanya. Wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah statistik metropolitan atau mikropolitan, berdasarkan jumlah penduduk; sebuah wilayah "metro" mempunyai inti urban sedikitnya 50.000 jiwa, sementara wilayah "mikro" mempunyai kurang dari 50.000 tapi sedikitnya 10.000 jiwa.