BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada
hakekatnya pengembangan merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa
yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup dan meningkatakan
kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan
juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; yaini belajar memanfaatkan kemampuan
yang dimiliki dan bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan
itu juga merupakan proses belajar. Hasil yang dapat di peroleh dari proses
tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrument yang
digunakan. Mengacu pada dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan
upaya memberdayakan di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya
alam dan lingkungan di wilayah tersebut. Salah satu alternatif pengembangan wilayah yang
diharapkan dapat mengatasi dampak negatif dari suatu pembangunan adalah dengan
pengembangan kawasan agropolitan. Dalam pengembangan, wilayah harus di dasarkan
atas keunggulan komparatif lokasi, dengan demikian produk-produk pertanian yang
mempunyai karakteristik khusus serta harus mempunyai orientasi
pengembangan yang lebih baik.
Istilah
agropolitan telah mengemuka dalam tataran konsep atau teori serta implementasi
kebijakan. Perjalanan pembangunan agropolitan di stimulasi oleh otonomi daerah
maupun program-program pembangunan wilayah antara lain Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan, Kawasan Ekonomi
Khusus, kawasan perbatasan/tertinggal, Minapolitan, atau ekowisata. Keberhasilan pelaksanaan program pengembangan
agropolitan akan memberikan dampak teknis dan ekonomis secara nyata terhadap
pembangunan wilayah, dalam bentuk: (a) Harmonisasi dan keterkaitan hubungan
yang saling menguntungkan antara daerah pedesaan dan perkotaan; (b) Peningkatan
produksi, diversifikasi, dan nilai tambah pengembangan agribisnis yang
dinikmati secara bersama-sama oleh masyarakat dalam kawasan pengembangan
agropolitan; (c) Peningkatan pendapatan, pemerataan kesejahteraan, perbaikan
penanganan lingkungan, dan keberlanjutan pembangunan pertanian dan pedesaan;
dan (d) Dalam konteks regional dan nasional akan terjadi efisiensi pemanfaatan
sumberdaya, peningkatan keunggulan komparatif wilayah, perdagangan antar
daerah, dan pemantapan pelaksanaan desentralisasi pembangunan. (Nasution, 1998
dan Rusastra et al., 2002)
1.2 Tujuan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang pengembangan
wilayah dengan melakukan pendekatan agropolitan.
1.2 Manfaat
Manfaat
penulisan ini di harapkan memberikan informasi tentang bagaimana pengembangan
wilyah dapat dilakukan dengan pendekatan agropolitan.
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep Wilayah
dan Pusat Pertumbuhan
2.1.1 Konsep Wilayah
Dalam
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau
aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) wilayah dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan
pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup
komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta
bentukbentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi
antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu
batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget,
Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi
wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1)
wilayah homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal
region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming
region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, (Glason, 1974 dalam Tarigan,
2005) berdasarkan fase kemajuan perekonomian mengklasifikasikan region/wilayah
menjadi : 1). fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan
keseragaman/homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah
geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik
geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2). fase kedua yaitu wilayah fungsional
yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan
antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal
atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang
heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3). fase
ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan
keputusan-keputusan ekonomi.
Menurut
Saefulhakim, dkk (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar
bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa
Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong,
saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya:
antara supply dan demand, hulu-hilir. Oleh karena
itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi)
antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development.Tujuan-tujuan
pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2)
penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5)
keberlanjutan.
2.1.2 Wilayah
Perencanaan
Sedangkan
konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun
non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan
wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai
alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling
humanistik. Sedangkan menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk
mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan,
pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan
dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan
strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan
yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan
kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic
need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang
berkelanjutan.
2.2 Agropolitan
Pengembangan
agropolitan, seperti redistribusi tanah, prasarana dan sarana pada dasarnya
memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan sehingga masyarakat petani
tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan
produksi, pemasaran, sosial budaya dan kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001). Dalam pembangunan perdesaan yang berimbang tidak
hanya membentuk suatu permukiman secara individu tapi juga sangat penting untuk
membangun sibiotik generator keterkaitan desa-kota yaitu melalui pengembangan
agropolitan (Prayitno, 2004).
2.2.1 Pengertian
Agropolitan
Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian
pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana
ketergantungannya dengan perekonomian kota harus bisa diminimalkan. Agropolitan
menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian
dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi
sebagian besar masyarakat perdesaan. Dari berbagai alternatif model
pembangunan, pendekatan agropolitan dipandang sebagai konsep yang dapat
mengatasi permasalahan ketidakseimbangan perdesaanperkotaan selama ini. Agropolitan terdiri dari kata “agro” = pertanian
dan “politan” = kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota didaerah lahan pertanian (departemen pertanian, 2002 dalam
Pranoto , 2005). Hasan (2003) mengemukakan bahwa kegiatan kota tani berbasis
budidaya pertanian, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah
dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan, yang merupakan suatu upaya untuk
menghindari kesalahan pembangunan masa lalu.
Menurut (Saefulhakim, 2004) “Agro” bermakna: “tanah yang dikelola” atau
“budidaya tanaman”, yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis
pertanian. Sedang “polis” bermakna “a Central Point or Principal”.
Agro-polis bermakna : lokasi pusat pelayanan sistim kawasan sentra-sentra
aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau
sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota
pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan (Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Pertanian, 2003).
2.2.2 Batas Kawasan
Agropolitan
Pendekatan
pembangunan perdesaan melalui konsep agropolitan dikembangkan oleh Friedman dan
Douglas (1975). Keduanya bahkan menekankan pentingnya pendekatan agropolitan
dalam pengembangkan perdesaan di kawasan Asia dan Afrika. Pendekatan
agropolitan menggambarkan bahwa pembangunan perdesaan secara beriringan dapat
dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Dalam
konteks pengembangan agropolitan terdapat tiga issu utama yang perlu mendapat
perhatian, yaitu: (1) akses terhadap lahan pertanian dan penyediaan pengairan,
(2). desentralisasi politik dan wewenang administrasi dari tingkat pusat dan
tingkat lokal, dan (3) perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional
untuk lebih mendukung diversifikasi produk pertanian. Melihat kota-kota sebagai
site utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pendekatan
pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala
kabupaten (Douglass, 1998). Menurut Friedman dan douglass (1975), tujuan pembangunan agropolitan
adalah menciptakan “cities in the field”dengan memasukkan beberapa unsur
penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah perdesaan yang berpenduduk dengan
kepadatan tertentu. Agropolitan distric merupakan satuan yang
tepat untuk membuat suatu kebijaksanaan pembangunan ruang, melalui desentralisasi
perencanaan dan pengambilan keputusan (decentralized). Agropolitandistricts dapat
dikembangkan didaerah perdesaan dengan kepadatan penduduk tinggi atau peri-urban untuk
meningkatkan standart hidup , meningkatkan kesempatan bekerja dan mengurangi
tingkat migrasi ke kota (Friedman, 1996). Selanjutnya Mercado (2002) mengemukakan bahwa
gambaran agropolitan adalah sebagai berikut: (1) skala geografinya relatif
kecil; (2) proses perencanaan dan pengambilan keputusan berdasarkan partisipasi
dan aksi koperatif pada tingkat lokal; (3) diversifikasi tenaga lokal termasuk
pertanian dan kegiatan non pertanian; (4) pemanfaatan teknologi dan sumberdaya
lokal; (5) berfungsi sebagai urban-rural industrial.
Dengan skala luasan
kabupaten akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut
(1) akses lebih mudah
bagi masyarakat untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk meningkatkan dan
mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan cukup luas dalam upaya
mengembangkan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan
pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, dan (3) pengetahuan lokal akan mudah
dimanfaatkan dalam proses perencanaan jika
proses itu dekat
dengan rumah tangga dan produsen perdesaan. Pendekatan pembangunan perdesaan
tersebut ditangani oleh berbagai stakeholders secara terpadu
sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Pendekatan pembangunan harus
dilakukan secara komprehensip dan terpadu untuk meningkatkan produktifitas,
meningkatkan kualitas hidup penduduk perdesaan dan meningkatkan pembangunan
yang bertumpu pada masyarakat. Pendekatan pembangunan tersebut disarankan agar
dilaksanakan melalui enam elemen dasar, yaitu: (1) pembangunan pertanian dengan
padat karya (labour intensif), (2) menciptakan lapangan kerja, (3)
membangun industri kecil / industri rumah tangga pada wilayah pertanian, (4)
gotong royong masyarakat setempat dan partisipasi dalam membuat keputusan, (5)
mengembangkan hirarki pembangunan kota untuk mendukung pembangunan perdesaan,
dan (6) kelembagaan yang tepat untuk koordinasi multisektor.
BAB III. PEMBAHASAN
PENGEMBANGAN WILAYAH
DAN AGROPOLITAN
3.1 Pengembangan
Wilayah
Kegiatan pengembangan
wilayah adalah suatu kegiatan yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan
sifat birokratis dalam mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan
istilah “seyogyanya” dan sifat terapan biasanya menggunakan istilah
“seharusnya”. Dengan demikian, pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat
digunakan dan dapat pula tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan
wilayah tergantung kemauan politis pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang
sudah dipilih dan diputuskan oleh pengambil keputusan politis maka “harus”
dilaksanakan oleh para pelaksana di lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang
lain. Produk politik seperti itu biasa disebut Undang Undang atau berbagai
peraturan lainnya. Tulisan ini mencoba melakukan elaborasi sistim pembangunan
yang berlaku saat ini dengan menggunakan pendekatan geografi. Berbeda dengan sistim pembangunan pada era orde
baru yang bertitik tolak dari GBHN yang berisi garis besar rencana pembangunan
yang ditetapkan oleh MPR, sistim pembangunan pada era reformasi saat ini
bertolak dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang berisi rencana
pembangunan (lima tahun) yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Saat ini,
pemerintah (pemerintah pusat) dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan
pembangunan mengacu pada UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah sebagai amandemen dari UU nomor 22 dan 25
tahun 1999. Di samping itu berbagai UU lainnya seperti UU nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU
nomor 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU nomor 2 tahun 1992
tentang Rencana Tata Ruang, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan
UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan sebagai acuan
dalam melaksanakan pembangunan. Namun demikian pada prakteknya sistim pembangunan saat ini tidak berbeda
dengan masa yang lalu karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan
pembangunan daerah. Bidang pembangunan dijabarkan dalam sector, program dan
proyek pembangunan. Proyek merupakan jenjang terrendah dari hirarki istilah
dalam pembangunan dan pada tahap ini pelaksanaannya membutuhkan “dana” dan
“tanah”. Dan dapat dimengerti, hasil pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap
inilah yang akan merubah kualitas lingkungan hidup, apakah semakin baik atau
sebaliknya malah banyak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya
adalah pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy
dalam Kartono, 1989). Karena yang disajikan adalah fakta spasial maka
ketersediaan peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada
di tingkat kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu
menyiapkan peta peta fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup
pekerjaan inilah antara lain dituntut peran aktif para ahli geografi. Pengwilayahan data spasial untuk menetapkan
proyek pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan
untuk suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan (penetapan wilayah
pembangunan) disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah pembangunan pada
umumnya tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Produk akhir dari
analisis data spasial disebut “wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka
bumi yang dianalisis disebut “area/geomer/daerah”. Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa
perkembangan suatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah
sekitarnya mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya
bahkan pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan
hal itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan
pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas.
Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping
menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu
memperhatikan paling tidak bagaimana perkembangan daerah sekitarnya
(interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan
oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu
proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit
terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan
dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah
menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan
dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara
penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis
antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya. Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan
penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan
penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi
dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu
pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek. Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih
atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas
proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya,
pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu.
Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Malang
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang diarahkan menjadi
kawasan agropolitan karena wilayah tersebut dinilai sangat potensial di bidang
pertanian, khususnya produk tanaman pangan, hortikultura, buah, dan
sayur. Konsep agropolitan mengakomodasi dua hal utama, yaitu menetapkan sektor
pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya
ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Agropolitan merupakan konsep berpikir,
cara pandang, atau strategi untuk melakukan pembangunan di daerah, baik di
perkotaan maupun sub perkotaan dengan pertanian berkelanjutan. Fokus dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan agropolitan di
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang dan mengetahui prospek
pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan
penulis menggunakan pendekatan kualitatif adalah berusaha memberikan gambaran
yang sistematis, faktual dan akurat mengenai pelaksanaan pengembangan kawasan
agropolitan di Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data dokumen
yang diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Malang dan Kecamatan Poncokusumo, data
primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi.
Hasil dari penelitian ini menerangkan bahwa pelaksanaan
pengembangan kawasan agropolitan kecamatan poncokusumo saat ini dalam tahap
perbaikan infrastruktur dan peningkatan produksi pertanian dan peningkatan sub
sistem pendukung peningkatan produksi pertanian. Pada masa yang akan datang
diharapkan pengembangan kawasan agropolitan kecamatan poncokusumo bisa menjadi
daerah agrowisata.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang belum sepenuhnya menjadi kawasan Agropolitan
dikarenakan pengembangannya yang belum maksimal. Pelaksanaan pengembangan
kawasan agropolitan pada tahun 2008-2010 masih difokuskan pada pembangunan
sarana dan prasarana guna menunjang produksi pertanian, sedangkan untuk tahun
2011 sudah mulai dilakukan program peningkatan produksi pertanian dan program
peningkatan sub sistem pendukung peningkatan produksi pertanian. Pemerintah
setempat mengharapkan di masa mendatang daerah kawasan Agropolitan ini akan
menjadi daerah agrowisata dan akan menjadi daerah hinterland untuk kawasan di
sekitarnya.
Pengembangan
Kawasan Agropolitan di Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta
pembangunan
kawasan agropolitan ini belum memberikan
dampak yang signifikan terhadap pembangunan perdesaan di Kabupaten Kulonprogo.
Hal ini
terlihat bahwa tingkat kesejahteraan petani padi, melon dan ketela pohon di
kawasan ini masih
dibawah rata-rata Kabupaten Kulonprogo. Faktor yang mempengaruhi adalah
kurangnya
ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis hulu-hilir seperti bahan baku,
alat mesin
pertanian, irigasi, pemasaran dan kondisi jalan, sehingga menjadi hambatan
utama bagi petani
dalam peningkatan produktivitas serta daya beli petani.
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pengembangan
wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di
perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala
global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik
dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan
berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal.
Karena pada dasarnya kegiatan
pengembangan wilayah diarahkan untuk sebesar besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, lahir dan batin, argument dari sudut pandang ekonomi,
social budaya dan keamanan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan wilayah.